Sebuah Prestasi Bangsa

Posted by kampoeng pintar on 21.45 with No comments
Di negeri yang kaya ini anak-anak diwajibkan untuk sekolah minimal sembilan (9) tahun, tetapi dalam realitasnya sungguh ironis dimana kewajiban itu tidak diikuti dgn biaya sekolah yg murah. Tingginya biaya masuk sekolah, biaya untuk daftar ulang, kemudian uang pembangunan atau uang gedung, biaya perawatan meja kursi, biaya SPP yang tiap tahun meningkat kemudian biaya-biaya tetek bengek lainya yang semakin membebani para orang tua murid! Padahal banyak dari masyarakat di negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan, kalau tidak bisa sekolah kapan mereka bisa merubah nasib.

-Daftar ulang: apakah pada setiap memasuki tahun ajaran baru anak yg naik kelas dinyatakan keluar sampai harus bayar daftar ulang?

-Uang pembangunan: emang di sekolah negeri tidak dapat dana dari negara apa? trus, gedung yg mana sih yg tiap tahun di bangun tuh?

(jangan2.........jangan2................. buat di bagi2 lagi....) ups.......keceplosan (cen tak gawe)

Jadi kalau menurut aku, wajib sekolah sembilan tahun itu cuman satu omong kosong!, Faktanya banyak dari anak-anak usia sekolah negeri ini yg harusnya sekolah malah jadi pemulung, pengamen, gepeng, kuli...ah.......bahkan jadi PSK........wow puarahhhh.......

Ada hal yg bikin aku salut pada institusi pendidikan di negeri ini, yaitu dalam hal pengambilan keputusan kalau nunggak uang SPP dan hal lain yg menyangkut uang,“kalau tidak sanggup bayar, ya keluar” .

Keponakan saya bisa masuk sekolah jam 7 pagi dan keluar dari sana jam 5 sore. Waktu pulang kulihat mukanya makin menua, padahal usianya baru 11 tahun. Sepertinya ia menyimpan atau menanggung beban yang berat untuk dipikul.

Di samping itu, yang agak menyengat adalah manakala kualitas disejajarkan dengan harga. Pendidikan sekarang ini seperti layaknya barang dagangan yang hanya mementingkan profit oriented semata. Mereka selalu saja suka berdalil: Pendidikan bermutu itu mahal! Seorang guru besar malah siap berdebat semalam suntuk untuk meyakinkan bahwa pendidikan yang baik itu memang memakan ongkos.....

Sekolah memangnya untuk apa? Sebagian besar orang bilang, untuk mendapat kerja. Ketika memutuskan untuk bersekolah, kelak kita akan mendapat ijazah yang berguna dalam dunia kerja. Ijazah itu bermanfaat dan memberikan keuntungan posisi. Dengan ijazah yang kita pegang, maka jawaban pekerjaan niscaya tersedia. Ijazah telah meletakkan kita dalam harapan baru tentang dunia kerja. Ijazah mampu membungkus harapan menjadi suatu kenyataan yang konkret. Tapi, apa betul ijazah adalah tanda yang mendekatkan kita pada harapan?

Ku jadi ingat temenku dulu, dia anak sekolah menengah atas yang bersekolah di sebuah sekolah swasta di Magelang, ia memperlakukan buku persis seperti dompet. Buku itu digulung, kemudian dimasukkan dalam saku belakang celana, meski pakainya tiap hari selalu rapi disetrika tetapi ia hanya pakai sendal jepit tak pernah pakai sepatu kecuali hari senin itupun jarang. Kadang ia berangkat ke sekolah agak siang, dan ketika pelajaran dimulai, ia langsung cabut dan nongkrong di terminal mabok atau sekedar main judi di rumah kosong dengan pengamen atau preman jalanan jika ia kalah judi kadang dia minjem duitku buat ongkos pulang atau sekedar buat beli rokok kalau dia menang akan mentraktir aku dan temen-temen makan. Tak pernah ia punya catatan pelajaran karena dia tahu kalau waktu test bisa menyontek dan ijazah dengan mudah dibeli.

Sebaliknya, di kampungku ada seorang yang katanya hanya jebolan sekolah rendah. Entah apa maksud ‘sekolah rendah’, yang pasti ia bukan lulusan kampus. Memang, di rumahnya tidak ada buku satupun. Ruang tamunya penuh gelondongan kayu. Ia memang tukang kayu yang selalu ringan tangan kalau dimintai tolong. Walaupun belum pernah duduk di fakultas arsitek tapi kalau ia bikin rumah, tidak kalah baiknya dengan seorang sarjana. Meski belum pernah mencicipi sekolah tapi banyak tetangga percaya ia seorang tukang kayu yang ahli. Pada kenyataanya, ia dibesarkan oleh pengalaman ketimbang buku.

Kalau begitu, ngapain sekolah didirikan? Apa buat mensejahterakan guru? Ternyata tidak! Guru di sekolah nasibnya jauh lebih mengenaskan. Konon wibawanya mulia, tapi keseharian hidupnya sangat memprihatinkan. Gajinya hanya cukup untuk membeli pasta gigi dan sabun mandi. Guru dijadikan olok-olok dengan menyebutnya sebagai pahlawan tanpa punya apa-apa. Malah ada guru yang dimasukkan bui gara-gara membela sekolahnya. Inilah sebuah prestasi negri yang kaya katanya. (antox¬_sapuregel)




Categories: